Hiduplah pada hari ini tanpa kesedihan, gangguan, kemarahan, kedengkian dan kebencian atau sakit hati.
Sabtu, 30 Maret 2019
INDONESIA DI ATAS SEGALANYA
INDONESIA DI ATAS SEGALANYA
Prabowo, uber alles, Indonesia di atas segalanya, Indonesian first, mengutamakan Indonesia. Tentu di bawah kekuasaan Allah.
Beberapa kawan menjapri saya bahwa malam ini kepuasaan mereka terhadap debat sudah tercapai, Prabowo top. Aslinya Prabowo yang tegas, tajam visioner terlihat nyata.
The national core interest.
National interest alias kepentingan nasional adalah sangat penting alias inti dalam hubungan internasional. Juga dalam pertahanan bangsa. Namun, bagi Prabowo ada lagi yang lebih penting yakni inti daripada inti hubungan internasional dan pertahanan itu sendiri yakni kedaulatan bangsa.
Investasi asing bukan berarti memberikan keleluasaan pelabuhan udara dan pelabuhan laut dikuasai asing. Kita tahu pelabuhan udara seperti Halim Perdanakusuma dijadikan basis Kereta Cepat China, padahal Halim itu adalah pangkalan militer strategis. Begitu juga pengelolaan terminal-terminal pelabuhan hampir sepanjang 10 kilometer dermaga di Tanjung Priok dikuasai asing meski Pelindo II memayungi bisnis di sana.
Kedaulatan sebuah bangsa bukan ditunjukkan oleh jualan senyum antara pemimpin bangsa. Prabowo mengatakan bahwa senyum-senyum para diplomat memang merupakan kerja mereka. Tapi Prabowo tahu bahwa dalam pandangan negara tetangga dan pandangan komunitas diplomat dan jurnalis asing negara kita hanyalah bangsa yang direndahkan, kita hanya bangsa konsumtif, penumpuk utang, penikmat impor, miskin dan lain sebagainya.
"Indonesia is a nation of great potential, and will always be a potential," kata Prabowo tentang isi kepala diplomat itu.
Kita hanya jadi bangsa besar dan kuat jika kita membangun negara kita sungguh-sungguh, kerja keras, bebas korupsi, kuat persenjataan, barulah negara-negara lain bukan sekedar jualan senyum tapi benar-benar mendengar bangsa kita. Kita bukan sekadar mak comblang alias menjadi penengah tanpa pengaruh melainkan penengah yang bisa mengarahkan.
Pemerintah bersih.
Teknologi dalam pelayanan publik adalah sebuah keniscayaan. Di negara-negara barat, misalnya, pemberian bantuan sosial tidak perlu ramai-ramai presiden dan menterinya kumpulkan rakyat pakai antrian panjang. Mereka 30-an tahun lalu sudah pakai teknologi transfer. Untuk apa pihak Jokowi bicara sok gunakan teknologi tapi pas kasih bansos suruh rakyat manual antrian?
Dalam debat tadi Prabowo dengan jelas mengatakan bahwa antara teknologi dan korupsi alias jualan jabatan keniscayaan dan fakta nyata dalam pemerintah Jokowi. Hampir semua kementerian Jokowi terlibat jualan jabatan. Memalukan. Yang ditangkapi KPK baru di Kementerian Agama.
Bagi Prabowo antara penggunaan teknologi dan mentalitas pejabat negara yang anti korupsi harus sejalan. Karena keduanya merupakan tulang punggung pelayanan publik. Tidak bisa hanya didukung salah satunya saja.
Ideologi.
Pancasila bagi Prabowo adalah kontrak mati. Sebagai manusia yang sudah masuk tentara di umur 18 tahun. Tentara di usia remaja itu sudah disumpah sampai mati setia pada Pancasila.
Antara indoktrinasi versus edukasi, Prabowo meyakini bahwa peluang mendidik manusia-manusia Indonesia menjadi Pancasilais sejati dapat dilakukan sejak pendidikan usia dini, sampai ke universitas.
Pancasila menurut Prabowo adalah sebuah keyakinan yang bersifat historis sebagai falsafah bangsa. Tanpa falsafah itu tiada negara Indonesia. Bagaimana menanamkan Pancasila kepada rakyat tanpa indoktrinasi? Versi non indoktrinasi menurut Prabowo adalah via pendidikan.
Edukasi terhadap manusia-manusia Indonesia dilakukan sejak pendidikan usia dini, sampai ke universitas.
Tidak kalah pentingnya adalah tauladan para elite negeri. Keduanya, edukasi dan tauladan pemimpin bisa sama nilainya dengan indoktrinasi. Sebuah ideologi ditularkan memang harus mendekati indoktrinasi.
Jika tanpa tauladan, melainkan memecah belah rakyat, seperti elite rezim saat ini, penyebaran Pancasila akan gagal. Sebab, Pancasila adalah doktrin persatuan nasional, semua suku dan agama harus dianggap sama haknya dan equal, bukan dipecah belah.
Sekali lagi yang dikedepankan Prabowo nantinya adalah satu kata dan perbuatan. Itulah yang namanya tauladan pemimpin.
Prabowo juga memberitahukan bahwa isu khilafah hanyalah isu pepesan kosong. Namun, Prabowo yakin bahwa Islam dan Pancasila bukan suatu yang perlu dikontestasikan. Tidak ada juga bagi Prabowo isu menghapus tahlilan.
Rohingya.
Prabowo merasa urusan etnis Rohingya adalah etnik cleansing, sebuah kejahatan kemanusiaan. Namun, kita hanya menjadi bangsa lemah alias jadi mediator alias broker yang kurang dihormati. Jika kita menjadi negara kuat, bukan negara miskin yang haus impor mengimpor, lalu kita menjadi negara disegani di ASEAN barulah Myanmar melihat kita dengan segan. Barulah kita bisa menolong orang-orang Islam di Myanmar itu.
Kita butuh menjadi negara kuat, bukan nenjadi negara cepat, yang tanpa arah. Cepat boleh, tapi kuat lebih dihormati.
Prabowo telah tampil gagah malam ini. Debat dalam pengertian sesungguhnya adalah substance, spontaneity and answer to tough questions. Secara substansi Prabowo sudah menjelaskan pandangan dia dari sisi ideologi, pertahanan bangsa yang kuat, hubungan luar negeri dan pemerintahan yang baik. Intinya ada dua yakni kedaulatan bangsa dan pemerintahan yang bebas korupsi.
Gaya Prabowo di panggung juga benar-benar jadi singa panggung. Gagah dan tajam. Tajam pikirannya, tajam lidahnya dan tajam matanya.
Wes wayahe bangsa ini sudah menerima takdirnya menemukan pemimpin sejati. Prabowo uber alles, Indonesian first. []
Penulis adalah direktur Sabang Merauke Circle.
Sabtu, 23 Maret 2019
PENDUKUNG JOKOWI, MILITAN ATAU INTIMIDATIF..???
Pendukung Jokowi, Militan atau Intimidatif..???
Irasionalitas
Dalam kadar tertentu, sambutan pendukung Jokowi kepada Prabowo dan Sandi ini dapat dianggap sebagai mob mentality atau mentalitas massa. Istilah ini merujuk pada bagaimana orang-orang dapat terpengaruh orang di sekitarnya untuk melakukan tindakan tertentu dengan dasar emosi, alih-alih rasionalitas.
Istilah ini kerap digunakan pada perubahan sikap individu ketika berada di dalam sebuah kelompok. Meski begitu, terminologi ini juga dapat digunakan untuk hal lain terutama yang berkaitan dengan tindakan kelompok dan irasionalitas.
Jika diperhatikan, memang ada dua unsur utama dari aktivitas pendukung Jokowi dalam mengekspresikan diri di hadapan pendukung Prabowo atau Sandiaga.
Pertama, mereka tampil dalam bentuk massa dan yang kedua, mereka tak menggunakan alasan rasio . Oleh karena itu, istilah mob mentality bisa digunakan untuk menggambarkan aktivitas tersebut.
Dalam politik, rasionalitas memang kerap kali dikesampingkan oleh masyarakat. Eyal Winter, profesor dari University of Leicester bahkan menyebutkan bahwa memilih adalah sesuatu yang tidak rasional dan emosi selalu dimenangkan dalam proses tersebut.
Winter menyebutkan bahwa perilaku masyarakat yang terus-menerus berdebat dan tidak bisa saling setuju, menggambarkan bahwa ada hal yang lebih dari sekadar rasionalitas. Hal ini menurutnya adalah hal yang bersifat subyektif dan terkait dengan emosi.
Secara spesifik, Pervez Hoodbhoy menggambarkan bahwa ada unsur blind faith atau keyakinan buta dalam mob mentality dalam politik . Pada titik ini, unsur keyakinan buta itu menjadi hal irasional yang memicu mob mentality.
Merujuk pada hal-hal tersebut, sikap yang ditunjukkan dalam sambutan pendukung Jokowi sejalan dengan yang dikatakan oleh Winter. Para pendukung tersebut tampak tak bisa setuju dengan kehadiran Prabowo atau Sandiaga sebagai lawan Jokowi. Memang, hal itu tidak diekspresikan dalam bentuk kekerasan, tetapi tetap saja menggambarkan sikap emosional ketimbang rasional.
Sikap yang tak bisa setuju ini juga sebenarnya dapat terkait dengan unsur blind faith. Boleh jadi, ada unsur keyakinan buta dari para pendukung tersebut kepada Jokowi, sehingga tokoh yang berlawanan akan sulit diterima oleh mereka.
Mengancam Demokrasi
Di satu sisi, sambutan pendukung Jokowi ini boleh jadi menggambarkan militansi mereka kepada kandidat yang didukung. Akan tetapi, sebenarnya jika dibiarkan terjadi terus-menerus, ada potensi jangka panjang yang berbahaya.
Sebagaimana disebut sebelumnya, ada unsur irasional yang terkait dengan keyakinan buta dalam aktivitas tersebut. Jika hal ini terjadi secara berlarut-larut, masyarakat bisa saja menjadi tidak mudah menerima perbedaan karena hanya menghendaki satu kandidat saja yang disukai.
Jika diteruskan berlarut-larut, demokrasi yang ada di negeri ini dapat berada dalam ancaman. Banyak ahli yang menyebutkan ada bahaya mob mentality bagi demokrasi. Dalam kadar tertentu, hal ini bisa memicu mobokrasi atau kerap juga disetarakan dengan oklokrasi.
Istilah oklokrasi disebut-sebut berasal dari Polybius sebelum kemudian diberi istilah informal yaitu mobokrasi. Sistem ini merujuk pada pemerintahan yang dijalankan oleh mob atau massa orang-orang. Dalam tradisi pemikiran Yunani, istilah itu digunakan untuk menggambarkan sebagai sisi buruk dari demokrasi atau pemburukan makna untuk mayoritarianisme.
Sikap para pendukung Jokowi yang irasional terhadap kehadiran Prabowo dan Sandiaga bisa berujung pada hal ini. Sebagai massa, mereka seperti mengatur-atur kandidat mana yang paling berhak untuk hadir di wilayah mereka.
Sekali lagi, memang tak ada boikot atau pengadangan, tetapi sikap mereka yang begitu ekspresif kepada Prabowo dan Sandi terkadang diartikan publik sebagai hal yang intimidatif. Apalagi, ada istilah seperti “Jokowi wae” yang seperti menggambarkan kesulitan untuk menerima perbedaan.
Di luar itu, sambutan pendukung Jokowi ini juga tergolong ironi bagi seorang pemimpin seperti Jokowi. Mantan Wali Kota Solo tersebut terlanjur dikenal dengan persona politik yang ramah dan santun. Selain itu, sebagai pemimpin sipil yang terpilih melalui proses demokrasi, Jokowi dianggap sebagai harapan bagi demokrasi di negeri ini.
Sikap para pendukung tersebut tergolong berkebalikan dengan persona politik Jokowi tersebut. Tak hanya itu, seperti disebut di atas, sikap seperti ini mengancam demokrasi, sehingga harapan demokrasi di bawah Jokowi dirusak oleh pendukungnya sendiri. Hal ini akan tambah fatal jika ternyata benar massa yang hadir adalah kelompok bayaran.
Pada akhirnya, dalam demokrasi, menerima perbedaan adalah hal yang Penting.
Dalam konteks tersebut sikap irasional para pendukung Jokowi sulit untuk dapat dikatakan demikian. Idealnya, hal ini bisa dikikis agar demokrasi Indonesia yang dianggap menurun bisa kembali membaik. ( Dikutip dari blog : Pinter Politik )
PAPARAN INI BUKAN INGIN BERMAKSUD MERENDAHKAN, TIDAK MENGHARGAI ATAU MELECEHKAN TEMAN2, YG BERBEDA PENDAPAT.
RAKYAT DI TEKAN, RAKYAT MELAWAN
Isu mobilisasi aparat dan aparatur negara masif hadir di media sosial. Berbagai cerita, foto, rekaman dan bahkan video hampir setiap hari beredar. Masyarakat mulai percaya bahwa mobilisasi itu ternyata benar adanya.
Ada pihak-pihak yang menggerakkan ASN, para guru, camat, lurah, bahkan RW dan RT untuk berkampanye memenangkan Paslon tertentu. Mereka tinggal dan bergaul sehari-hari dengan masyarakat pemilih. Karena itu, dengan kekuasaan sosial yang dimiliki, mereka dijadikan ujung tombak untuk mengumpulkan pundi-pundi suara bagi paslon tersebut.
Kekhawatiran akan ada “sandera” dan “paksaan” terhadap aparatur negara itu satu demi satu mulai terbongkar. Pilihannya: ikut kampanye, atau dikasuskan.
Bupati, camat dan lurah pasti khawatir. Siapa yang tak punya salah? Selama masih sebagai manusia, para pejabat itu bisa dicari kelemahan dan kesalahannya.
Fenomena deklarasi sejumlah kepala daerah “diduga” tak sepenuhnya lepas dari situasi yang sarat tekanan dari pihak-pihak tertentu. Demi untuk keamanan dirinya, sejumlah kepala daerah “diduga” terpaksa deklarasi untuk Paslon tertentu. Tidak saja deklarasi, mereka juga memobilisasi aparatur negara di bawahnya untuk memenangkan Paslon tersebut.
Bukannya mereka harus netral? Kepala daerah, termasuk gubernur, bupati dan walikota, itu jabatan politik. Tidak ada kewajiban bagi mereka untuk netral. Tak ada kewajiban pula untuk mendukung Paslon tertentu. Bebas! Hanya saja, netral jauh lebih bijak, karena mereka memimpin rakyat dengan warna dan mazhab politik yang beragam. Dalam posisi netral, para kepala daerah ini bisa mengayomi seluruh warganya. Juga bisa menengahi jika ada konflik dan perselisihan di antara warganya.
Sementara camat dan sebagian lurah itu ASN. Mesti netral, dan gak boleh ikut kampanye. Termasuk juga aparat keamanan. Apa yang pernah diungkapkan Feri Mursidan Baldan bahwa lawan BPN bukan TKN, tapi aparat kepolisian. Ucapan mantan menteri agraria ini sepertinya bukan omong kosong. Tentu ini sangat menghawatirkan. Tidak saja menodai demokrasi, tapi rawan konflik.
Sebuah artikel yang ditulis atas nama Kacung Madjuhri, seorang wartawan Madura, jadi viral. Dalam tulisan itu diceritakan: semua klebun (lurah) di Madura dikumpulkan untuk ikut ambil bagian dalam kampanye Paslon. Jika ini benar, tentu sangat ironi bagi demokrasi kita. Mereka mestinya bekerja untuk rakyat, bukan untuk Paslon. Ini jelas akan merusak dan menodai proses pemilu.
Dalam tulisan itu disampaikan bahwa para lurah ini, meskipun ditekan, mereka tak akan patuh. Mereka lebih takut dicarok rakyatnya dari pada dipenjara karena tak mau ikut kampanye. Mereka lebih takut pada ancaman rakyatnya sendiri, dari pada ancaman pihak lain.
Jengah dengan ulah dan tingkah polah politik “menekan dan menakuti-nakuti” dari kubu Paslon tertentu, rakyat mulai berani terang-terangan melawan. Kasus Madura adalah bentuk nyata dari perlawanan rakyat. Ini bisa jadi “trigger” atau pemicu bagi perlawanan seluruh rakyat di tempat-tempat yang lain yang mengalami penekanan yang sama. Rakyat yang selama ini diam dengan ulah RT, RW dan lurahnya, bisa marah dan melawan ketika mereka sudah tak tahan lagi.
Sebaliknya, jika para lurah mendapat dukungan dari rakyatnya, mereka akan berani berbalik melawan atasannya. “Lebih baik dipenjara dari pada dicarok (dimusuhi) rakyatnya sendiri”.
Kasus Madura menunjukkan pertama, rakyat sudah mulai muak dengan ulah dari kubu salah satu Paslon. Kedua, rakyat mulai berani melakukan perlawanan demi menjaga pilpres yang jujur dan adil. Memilih berdasarkan nuraninya. Ketiga, kasus Madura akan menjadi awal dari gelombang peralawanan rakyat di seluruh Indonesia terhadap para lurah, camat dan bupati. Jika ini tak dihentikan, maka para pejabat itu akan kehilangan legitimasi moral dan sosial di mata rakyatnya sendiri. Ini akan jadi bumerang buat kinerja dan karir mereka di masa depan.
Kasus Madura seperti memberi pesan: Lawan lurah jika mereka melanggar aturan dalam kampanye dengan bagi-bagi sembako, atau bahkan melakukan penekanan kepada rakyat. Dan dukung para lurah untuk melawan atasan yang menekan mereka. Di tangan rakyat kedaulatan bangsa ini dijaga. Dan di tangan rakyat pula demokrasi ditegakkan. Rakyat punya kekuatan jika bersatu.
Mereka mesti sadar bahwa rakyat sudah cerdas. Tahu mana Paslon yang layak dipilih oleh mereka. Itu hak demokrasi yang dijamin undang-undang. Jangan dinodai dengan money politics dan intimidasi. Diam bukan berarti setuju. Bahkan terima sembako dan uang bukan berarti mereka ikut arahan RT, RW dan lurah. Sama sekali tidak. Itu justru menjadi bentuk perlawanan halus mereka. “Terima uang dan sembakonya, tapi jangan coblos paslonnya”. Sebuah perlawanan yang mematikan.
Kabar bahwa ada seorang kades di Mojokerto yang dipenjara dua bulan, enam guru honorer di Banten yang dipecat, dan 53 penyuluh honorer DKI yang “terancam diberhentikan” gara-gara tak satu pilihan adalah tumbal demokrasi yang tak seharusnya ada lagi. Mesti dihentikan jika kita ingin pemilu 2019 ini tidak cacat. Bersih dan bisa dipertanggungjawabkan.
Tapi, jika rakyat ditekan, dan terus ditekan, maka watak dan sikap rakyat Madura akan menular ke seluruh rakyat di seluruh wilayah di Indonesia. Mereka akan lebih berani melawan secara terang-terangan. Dan sudah waktunya rakyat harus melawan terhadap semua tindakan politik yang mengancam dan berpotensi merusak proses demokrasi kita.
Jakarta, 23/3/2019
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Oleh Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
Rabu, 13 Maret 2019
TUN Dr. M dan JOKOWI, SIAPA YG BOHONG..??
Siti Aisyah bebas dari Hukuman Mati.
SITI Aisyah dibebaskan Pengadilan Malaysia. Yassona Laoly dan buzzer klaim itu hasil lobby Pemerintah Indonesia dan prestasi Presiden Joko Widodo. Amazing. Luar biasa. Meme dan rilis video disebar.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad membantah adanya lobby dari Pemerintah Indonesia. Antiklimaks.
Medsos segera rame. Netizen menuding pihak yang klaim pembebasan Siti Aisyah sebagai prestasi Joko Widodo sebagai "Tukang Bohong".
Salah satu kata yang marak di rezim Jokowi adalah "bohong" atau "pathological iying". Tidak pernah terjadi di rezim-rezim sebelumnya.
Bohong bagian hidup manusia. Leonard Saxe, Ph.D., ahli polygraph, mengatakan, "Lying has long been a part of everyday life. We couldn't get through the day without being deceptive".
Hollywood sadar adanya obsesi manusia untuk berbohong dalam film Quiz Show, True Lies, The Crucible, Secrets & Lies, dan Liar, Liar.
Bagi Filsuf Nietzche; lie is a condition of life. Seorang pembohong biasanya punya verbal skill yang lebih bagus daripada kemampuan tehnis lain.
Penyakit pathological iying ditemukan dalam arena politik dan penguasa negara. Ironisnya, mereka lebih sering menipu rakyatnya sendiri.
Di buku "why leaders lie", John J. Mearsheimer menulis: "I find that leaders do not lie very often to other countries, but instead seem more inclined to lie to their own people".
Presiden Lyndon Johnson membohongi rakyat Amerika dengan cerita penyerangan Vietcong terhadap kapal US Destroyers. Kebohongan ini begitu apik sehingga membuat kongres mengesahkan "Gulf of Tonkin Resolution". Resolusi ini memberi otoritas besar kepada Presiden Johnson untuk mengambil langkah apapun mencegah penyerangan terulang.
Fiksi Mobil Esemka, dolar 10 ribu, stop utang, stop import, tidak naikan BBM & TDL dan lain-lain punya target rakyat domestik.
Entah bagaimana perasaan Perdana Menteri Mahathir Mohamad saat berita klaim Yassona Laoly dan Joko Widodo sampe ke meja kerjanya.
Tidak mungkin dua pihak berbohong. Seandainya Perdana Menteri Mahathir Mohamad bukan pihak yang berbohong, artinya pihak lain yang berbohong. Dan kebohongan itu naik kelas. Menyentuh dimensi "international lies". Dan itu bikin malu. []
ZENG WEI JIAN Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi
SITI Aisyah dibebaskan Pengadilan Malaysia. Yassona Laoly dan buzzer klaim itu hasil lobby Pemerintah Indonesia dan prestasi Presiden Joko Widodo. Amazing. Luar biasa. Meme dan rilis video disebar.
Medsos segera rame. Netizen menuding pihak yang klaim pembebasan Siti Aisyah sebagai prestasi Joko Widodo sebagai "Tukang Bohong".
Salah satu kata yang marak di rezim Jokowi adalah "bohong" atau "pathological iying". Tidak pernah terjadi di rezim-rezim sebelumnya.
Bohong bagian hidup manusia. Leonard Saxe, Ph.D., ahli polygraph, mengatakan, "Lying has long been a part of everyday life. We couldn't get through the day without being deceptive".
Hollywood sadar adanya obsesi manusia untuk berbohong dalam film Quiz Show, True Lies, The Crucible, Secrets & Lies, dan Liar, Liar.
Bagi Filsuf Nietzche; lie is a condition of life. Seorang pembohong biasanya punya verbal skill yang lebih bagus daripada kemampuan tehnis lain.
Penyakit pathological iying ditemukan dalam arena politik dan penguasa negara. Ironisnya, mereka lebih sering menipu rakyatnya sendiri.
Di buku "why leaders lie", John J. Mearsheimer menulis: "I find that leaders do not lie very often to other countries, but instead seem more inclined to lie to their own people".
Presiden Lyndon Johnson membohongi rakyat Amerika dengan cerita penyerangan Vietcong terhadap kapal US Destroyers. Kebohongan ini begitu apik sehingga membuat kongres mengesahkan "Gulf of Tonkin Resolution". Resolusi ini memberi otoritas besar kepada Presiden Johnson untuk mengambil langkah apapun mencegah penyerangan terulang.
Fiksi Mobil Esemka, dolar 10 ribu, stop utang, stop import, tidak naikan BBM & TDL dan lain-lain punya target rakyat domestik.
Entah bagaimana perasaan Perdana Menteri Mahathir Mohamad saat berita klaim Yassona Laoly dan Joko Widodo sampe ke meja kerjanya.
Tidak mungkin dua pihak berbohong. Seandainya Perdana Menteri Mahathir Mohamad bukan pihak yang berbohong, artinya pihak lain yang berbohong. Dan kebohongan itu naik kelas. Menyentuh dimensi "international lies". Dan itu bikin malu. []
ZENG WEI JIAN Penulis adalah aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi
INSIDEN PRABOWO MARAH
Insiden Prabowo Marah,
Memang Beda Kelas dengan Joko
Tidak perlu heran kalau insiden Prabowo Subianto (PS) memarahi pengawalnya digoreng oleh para pendukung Jokowi. Jangankan sedang marah, Prabowo buang angin alias kentut pun akan dipersoalkan. Jadi, tidak ada yang istimewa dari insiden yang terjadi hari ini (12/3/2019) di Cianjur, Jawa Barat.
Sekali lagi, Pak Prabowo akan selalu spontan melihat sesuatu yang tidak wajar. Itulah yang terjadi siang tadi. Seorang ibu ingin mendekat ke mobil yang membawa Pak PS. Dia ingin bersalaman. Tetapi, petugas keamanan boleh jadi bertindak terlalu kasar terhadap ibu tsb.
Nah, ketika kekasaran ini terjadi di depan mata Pak PS, jangan harap dia akan diam saja. Tidak akan. Apalagi korban kekasaran itu adalah wanita.
Beliau akan langsung bereaksi. Dia tidak akan memikirkan soal citra. PS akan turun seketika itu juga. Memberikan solusi. Atau saran.
Pak PS bukan tipe orang yang masih akan senyum-senyum ketika melihat kezaliman terjadi. Ketika ada ketidakwajaran atau kesewenangan. Dia bukan tipe orang yang pura-pura tak tahu ada kejadian di depan matanya.
Berbeda dengan Pak Jokowi. Jokowi masih bisa senyum melihat rumah rakyat dibuldoser untuk jalan tol. Untuk bandara. Menganggap biasa saja ketika seorang wanita bersimpuh di depan beliau, meminta agar diuruskan soal ganti rugi lahan. Bahkan, boleh jadi Pak Joko menikmati pemandangan orang sujud di depannya.
Sekali lagi, Pak Prabowo tidak seperti Jokowi. Dan, jangan sampai seperti Jokowi. Beliau ini dengan santai mengatakan bahwa dia tidak keluarkan biaya ketika ikut pilkada DKI. Jelas saja. Karena yang membiayai dia adalah Hashim Djojohadikoesoemo, adik Pak PS. Jokowi tidak merasa bersalah.
Jokowi tega dan tegar melihat banyak rumah sakit tutup karena tidak dibayar BPJS Kesehatan. Pak PS tak akan tega. Dia tak akan bisa tidur kalau rakyat mengalami kesulitan.
Jadi, Anda semua para pendukung Jokowi, percuma menggoreng-goreng insiden marah Pak PS kepada pengawal beliau yang berlaku kasar pada warga. Beliau pasti akan bertindak langsung jika menjumpai sesuatu yang di luar batas.
Kalau Anda mau merekayasa insiden serupa secara diam-diam di depan Pak PS, pasti Anda akan mendapatkan rekaman video yang laris untuk diviralkan. Coba saja.
Pak Prabowo tak akan tega membiarkan kesewenangan. Jadi, kualitas kepribadian Prabowo dan Jokowi memang berbeda bagaikan siang dan malam.
Prabowo tak bisa tega, tetapi beliau tegas. Sebaliknya, Jokowi selalu tega dan tak akan pernah tegas.
Jokowi tega membohongi rakyat, tapi tak tegas menghadapi kesewenangan para taipan hitam.
Penulis: Asyari Usman
Langganan:
Postingan (Atom)